The X-Law, Jabariah dan Qadariah (1)

Jabariah dan Qadariah adalah dua aliran teologi Islam yang berbeda pendapat dalam menyikapi Qada dan Qadar.
Jabariah berpandangan bahwa manusia tidak memiliki kehendak bebas dalam hidupnya dan segala sesuatu yang terjadi adalah kehendak Allah SWT semata. Pandangan yang cenderung membuat hidup sudah ditentukan oleh Allah.
Sebaliknya, Qadariah berpandangan bahwa Allah memberikan kebebasan pada manusia untuk menentukan hidupnya. Oleh karena itu, apapun yang diperbuat oleh manusia adalah berkat usaha dan kemampuannya sendiri serta tidak ada lagi campur tangan Allah didalamnya.

Bagaimana kita eh.. saya menyikapi dua aliran yang bertolak belakang ini?
Jika kita berpihak pada pendapat bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah kehendak Allah SWT semata, maka ternyata manusia juga diberi free will dimana kita bisa memilih untuk fujur atau taqwa.
Namun jika kita berpihak pada pandangan bahwa Allah memberikan kebebasan sepenuhnya kepada manusia untuk menentukan hidupnya (free will), maka kita akan terbentur pada beberapa petunjuk / firman Allah yang menyatakan sebaliknya.

Jadi mana yang benar?
Jika saya yang ditanya, maka jawaban saya: Dua-duanya betul dan dua-duanya bisa salah. Lho kok??? Kedua konsepsi ini (menurut saya) jelas bertentangan, namun (menurut pemahaman saya lagi), kedua pemahaman ini benar pada posisinya masing-masing. Artinya, setiap insan pada posisi pemahaman, dan keimanan, yang berbeda-beda akan berpihak pada pemahaman yang sesuai: Qadariah, Jabariah, atau diantaranya. Hal tersebut bisa terjadi karena adanya Hukum X.


The X-Law
Mari kita lihat ilustrasi Hukum X berikut ini, barangkali bisa menjelaskan fenomena tersebut:



Dalam kehidupan spiritual (agama) di dunia ini ada 2 (dua) kelompok ekstrim yang saling berseberangan, yaitu kelompok yang sangat-amat percaya adanya Allah disatu sisi dan kelompok yang sangat-amat ingkar adanya Tuhan Yang Maha Esa di sisi yang berseberangan. Mereka memiliki argumentasi masing-masing untuk mempertahankan keyakinannya.

Orang-orang yang beriman, mereka berkeyakinan, haqqul-yakin bahwa yang membuat mereka hidup adalah Allah.
Mereka bisa paham karena Allah memberikan pemahaman itu.
Mereka bisa berkuasa karena Allah lah yang menghendaki.

Mereka tidak pernah meng-Aku-i semua kehebatan yang ada pada diri mereka. Dengan kata lain, tingkat ke-iman-an dan kepasrahan mereka tinggi sekali (absolute surrender), tanpa reserve.

Sebaliknya yang terjadi pada orang-orang yang tidak percaya adanya Allah, sama-sekali tidak percaya Tuhan yang Maha Esa, mereka memiliki ke-aku-an yang sangat tinggi. Aku bisa berpikir dan cerdas karena aku sendiri. Aku bisa bergerak karena daya diriku sendiri. Aku bisa kaya dan berkuasa karena aku sendiri.

Ilustrasi diatas memperlihatkan grafik Ke-iman-an (warna hijau) yang berbanding terbalik dengan  Ke-Aku-an (warna hitam) yang membentuk persilangan. Itulah yang saya maksud sebagai the X-Law. (Maksudnya: Saya cuma ngarang-ngarang Hukum X ini .... hehehe).

Catatan: Ilustrasi Hukum X diatas berdasarkan kira-kira saja alias ngawur, karena tidak mungkin bagi saya untuk menjadikan orang sak’ndonya sebagai responden.

Berdasar ilustrasi tersebut, umat manusia saya kelompokkan ke dalam 5 kelompok besar.
Kelompok A: 0% (Nol Persen) Beriman.
Kelompok B: 100% (Seratus Persen) Beriman.
Kelompok C: Kelompok tengah-tengah, bisa dikatakan 50% percaya, 50% tidak percaya.
Kelompok D:Ke-iman-annya jauh lebih kecil dibanding rasa tidak percayanya.Perkiraan kasarnya: 75% tidak percaya. X 25% Percaya.
Kelompok E: Ke-iman-an-nya jauh lebih besar daripada ketidak percayaannya. Perkiraan kasarnya: 75% Percaya X 25% Tidak Percaya.

Mari kita telaah the X-Law Phenomenom ini lebih lanjut. Tapi Ingat ini hanya pemahaman saya saja lhooo!!! terlarang untuk dipercaya, musrik.. apalagi ditelan bulat-bulat.. bisa keselek .. hehehe.. Anda harus memahaminya dulu untuk menyatakan percaya atau menolak.

Kelompok A: 0% (Nol Persen) Beriman
Kelompok A, dapat dibagi lagi menjadi 2 sub-kelompok besar:
1. Tidak percaya adanya Allah dan tidak percaya adanya alam lain (ghaib) di balik alam materi.
2. Tidak percaya adanya Allah namun percaya adanya alam lain (ghaib) di balik alam materi.

Sub-Kelompok A.1: Orang yang 100% tidak percaya adanya Allah, dan kekuatan apapun diluar alam materi, akan menganggap bahwa segala kekuatan, kemampuan, kecerdasan yang melekat pada dirinya semata-mata karena dirinya sendiri. Lebih sempit lagi: daya dan kekuatan tubuh fisiknya. Kekuatan dibalik alam materi mereka anggap omong-kosong, kegilaan.
Jika mereka menjadi ilmuwan, segala ilmu mereka batasi hanya dalam lingkup alam materi saja, diluar alam materi akan mereka kesampingkan dan mereka akan terus-menerus mencari sebab & akibat dalam lingkup alam materi. Tak heran jika sudah mentok, mereka berkesimpulan macam begini:
- Alam semesta terjadi dengan sendirinya, kebetulan.
- Manusia merupakan turunan monyet.
- Manusia (tubuh manusia) bisa hidup semata-mata karena proses kimiawi tubuh, tidak ada unsur lain yang menghidupkan.
- Pikiran dilihat semata-mata hanya proses kimia biologis di otak.

 Contoh yang bisa saya ketengahkan disini adalah Michael Persinger yang mempopulerkan Godspot, titik tuhan yang adanya dikepala – ditengah-tengah otak. Padahal sebagai orang beriman, kita diajarkan bahwa titik Tuhan itu adanya dimana-mana. Dimana kita menghadap disitu ada titik Tuhan.
Berikut, satu cuplikan yang saya ambil dari sebuah situs (mohon maaf, lupa alamat situsnya) tentang aktifitas penelitian Persinger:
Persinger was asked if his work leads him to conclude that "God," or the experience of God, is solely the creation of brain-wave activity.
"My point of view is, 'Let's measure it.' Let's keep an open mind and realize maybe there is no God; maybe there might be," says Persinger. "We're not going to answer it by arguments — we're going to answer it by measurement and understanding the areas of the brain that generate the experience and the patterns that experimentally produce it in the laboratory."

Sungguh pernyataan yang ‘lucu’ karena alat-ukur, perangkat penelitian yang dipakai Persinger adalah benda yang terbuat dari materi, yang tidak memiliki kemampuan untuk melihat benda-benda non-materi. Tidak sanggup untuk melihat hal-hal yang gaib pada level paling rendah sekalipun, apalagi untuk melihat Tuhan Yang Maha Ghaib dan Maha Tinggi. Jika ‘melihat’ (mendeteksi) saja tidak mampu, bagaimana bisa membuktikan?
Meski demikian, banyak nilai positif yang bisa kita manfaatkan dari penelitian mereka. Hasil iqro’ mereka terhadap hukum-hukum Allah – sunnatullah, membuat mereka menjadi paham-betul hukum-hukum yang berlaku di alam materi. Hukum-hukum alam yang mereka gali dan manfaatkan itulah yang menyebabkan peradaban manusia memasuki zaman keemasannya seperti saat ini.

Sub-Kelompok A.2: Kelompok ini tidak percaya adanya Allah namun percaya adanya alam lain (ghaib) di balik alam materi. Mereka bisa saja mencapai kesadaran-kesadaran diluar kesadaran fisik, memiliki daya-linuwih, namun mereka tetap tidak percaya adanya Tuhan Yang Maha Mengetahui. Banyak bukan yang masuk sub-kelompok seperti ini?

Kelompok B: 100% (Seratus Persen) Beriman
Orang yang 100% beriman, berbuat apapun sekecil apapun, sesuai petunjukNya. Mereka mendapat petunjuk untuk setiap langkah yang harus mereka jalani. Mereka tidak lagi mengandalkan pikirannya untuk menjalani hari-hari mereka. Tak sedikitpun mereka mengedepankan keinginannya (baca: nafsu, hasrat, dan emosinya - NHE). Jalan hidupnya telah sepenuhnya mereka jalani atas petunjuk Allah. Itulah sebabnya mereka terlihat sangat yakin, haqqul-yakin sepenuhnya. Meski kita tahu, perintah Allah itu tidak masuk akal bagi orang-orang yang belum 100% beriman.

Sebagai contoh ketika nabi Ibrahim menjalankan perintah Allah untuk menyembelih putra kesayangannya dengan ketaatan dan kesabaran tinggi. Mungkin orang-orang yang melihat ”kelakuan” nabi Ibrahim pada waktu itu, akan berkomentar begini:
”Aneh tuh orang tua.. masa Cuma mimpi saja, diyakini perintah dari Allah. Menyembelih anak lageee???” Bagaimana jika mimpi itu datangnya dari setan coba???

Orang awam seperti kita, mungkin tidak paham bahwa perintah Allah yang ”luar-biasa” seperti menyembelih anak, tidak akan diberikan kepada orang-orang yang tidak 100% beriman. Jadi, jika ada orang gila yang menggorok orang-lain dengan pengakuan itu adalah perintah Tuhan, maka kita wajib tidak percaya.

Contoh lain yang menunjukkan ketaqwaan nabi Ibrahim adalah ketika beliau diminta untuk meninggalkan anak dan istrinya, di padang gersang tanpa bekal apa-apa. Bagi orang yang mengaku punya logika rasional yang waras macam kita, mungkin akan protes: ”Ninggalin mereka di padang tandus? Kalau kelaparan, kehausan terus mati gimana? Kelewatan tuh.. nggak mungkin perintah Tuhan begitu?” pake akalnya dong?"
Tapi kenyataannya, baginda nabi Ibrahim melaksanakan perintah itu dengan penuh keyakinan dan ketaatan. Samikna wa atokna.

Kedua contoh di atas dapat kita ambil hikmahnya:
- Nabi Ibrahim, meski terkenal sebagai pribadi yang cerdas senang berpikir, beliau tidak lagi menggunakan akal-pikirannya ketika menjalankan perintah Allah. Beliau menyadari, akal pikiran sangat terbatas daya, kekuatan dan pengetahuannya.
- Perintah Allah banyak yang tidak / belum dapat dijangkau oleh akal-pikiran kita. Semakin beriman, semakin banyak perintah Nya yang bisa dipahami. Semakin tidak beriman semakin banyak perintah-Nya yang dirasa tidak masuk akal.
- Allah senantiasa memberikan petunjuk bagi orang-orang yang dekat, yang beriman kepada-Nya.

Jika kita ingat atau baca kembali kisah para Nabi, banyak perintah dan petunjuk dari Allah yang mereka terima yang tidak masuk akal-sehat kita, bahkan mungkin akal sehat mereka. Ingat kisah nabi Musa yang ngangsu kaweruh kepada nabi Khidir?
Dalam perjalanan kenabian mereka, banyak pula kejadian-kejadian yang tidak sesuai dengan hukum alam (materi) yang mereka temui, semua itu membuktikan keberadaan nyata Allah Yang Maha Ghaib yang menambah keyakinan mereka.
Adakah orang yang beriman yang masih memperturutkan ’Ke-aku-an’nya? Rasa-rasanya tidak ada, walau mereka tetap bekerja, berpikir dan beraktifitas, segala tindakan yang mereka lakukan adalah berdasar petunjuk Allah. Bukan memperturutkan Nafsu, Hasrat, Emosi dan pikiran mereka saja, atau ketidaktahuan mereka, atau persangkaan mereka belaka. Mereka benar-benar menjalani kehidupan berdasar petunjuk.
Seperti apa petunjuk bagi orang beriman? Petunjuk ya petunjuk, sebuah pengarahan yang langsung dihujamkan ke dalam hati mereka. Atas dasar itulah mereka beraktifitas. Kadang kita dengar mereka adalah orang-orang yang ”weruh sakderengipun winarah”.

Bandingkan dengan orang-orang yang tidak beriman, yang di-drive oleh NHE dan pikiran mereka. Mereka bisa menghalalkan segala cara, yang intinya pengumbaran NHE, untuk meraih apa yang mereka inginkan. Sebagai konsekwensinya, stress, depresi, stroke, menjadi penyakit yang umum diderita bagi mereka yang tidak beriman ini.

Bisakah orang-orang beriman menolak petunjuk Allah? Ya bisa saja, bukankah mereka juga masih memiliki option: mau fujur atau taqwa? tapi sepertinya beliau-beliau sudah kadung meng-OFF-kan pilihan fujur-nya. Mereka committed untuk pasrah bongkok’an karena yakin Allah Maha Mengetahui yang terbaik untuk diri mereka. Terbaik tidak hanya dari aspek duniawi semata melainkan justru dari aspek akheratinya.
Mereka benar-benar berprinsip ”La hawla walaquwwata ila billah”. Absolute surrender. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali seluruhnya semata-mata daya dan kekuatan Allah. Daya dan kekuatan yang mengalir pada dirinya, adalah daya dan kekuatan NYA. Level ke-aku-an mereka 0%, tidak ada terbesit rasa sombong di hati mereka.
Kelompok A dan kelompok B adalah dua kelompok yang berseberangan. Kelompok tak beriman tidak akan mungkin memahami apa yang dipahami oleh kelompok orang-orang Beriman, namun sebaliknya kelompok orang Beriman sangat mungkin memahami apa yang dipahami oleh orang Tak Beriman.


Kelompok C dan D
Diantara dua kelompok tersebut ada kelompok-kelompok C dan D. Pemahaman mereka merupakan campuran pemahaman antara yang percaya dan yang tidak percaya, sesuai dengan posisinya yang berada diantara A dan B.
 
Kelompok C adalah Kelompok Tengah-tengah
Bisa dikatakan 50% percaya, 50% tidak percaya. Kadang berperilaku seperti orang beriman, kadang berperilaku tidak-beriman. Probabilitasnya 50:50. Keimanan mereka sangat tergantung dari ”angin” mana yang lebih kuat berhembus: angin dari setan atau angin malaikat yang mengajak kepada kebaikan. Labil.
Berada dibawah kelompok C ada kelompok D, dimana tingkat Ke-aku-an nya lebih-besar-dari Keimanannya.
 
Persamaan kelompok C dan D, mereka berprinsip bekerja keras, dan mereka yakin harus bekerja untuk menghidupi diri dan keluarganya. Mengutip dari sebuah artikel (saya lupa sumbernya, mohon maaf), Kelompok C dan D, juga A, sangat percaya bahwa Imbalan Jatuh Tak Jauh Dari Usaha. Tentunya dalam konteks dunia materi.
Kata sebuah pepatah, "Langit itu adil." Pasukan yang lebih gigih berperang, lebih gagah bertempur – tak peduli apakah mereka percaya atau tidak pada sang langit – akan meraih kemenangan.
Pengusaha yang lebih tekun bekerja, lebih giat berusaha - tak peduli apakah ia yakin atau tidak pada sang langit - akan memperoleh penghasilan. Hukum alam itu sederhana saja. Barang siapa mencelupkan jarinya ke air mendidih, mendapatkan lepuh.
Hukum kasualitas khususnya yang berlaku di alam materi itulah yang mereka percayai. Sehingga jika hanya sebatas angan-angan belaka, atau hanya karena merasa lebih percaya pada sang langit, dan berharap emas jatuh ke pangkuan begitu saja, maka sukar dan hampir mustahillah harapan itu terwujud.

Kelompok E

Kelompok E adalah kelompok yang Keimanannya lebih-besar-dari Ke-aku-an nya, mereka sangat percaya bahwa usaha duniawi harus diiringi dengan doa. Doa membantu mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Qada dan Qadar
Ada sedikit pertanyaan saya tentang Qada dan Qadar:
"Adakah orang yang tahu Qada’ dan Qadar yang tertulis di lauh-al Mahfu’?".
”Apakah ketetapan yang telah tertulis untuk jagad-raya, untuk tumbuhan, untuk selembar daun, dan untuk manusia? Apakah ketetapan untuk seluruh makhluk bersifat statis? Ataukah dinamis - bisa berubah karena sesuatu?”.
Tentunya kedua pertanyaan ini tidak bisa dijawab secara pasti.

Tapi barangkali saya yang sotoy ini boleh menduga-duga, jika ketetapan untuk manusia bersifat tetap, statis, tentunya manusia tidak diberi kebebasan memilih. Mereka akan berjalan pada ketetapan yang telah digariskan, seperti matahari dan bulan yang selalu tetap pada orbitnya. Andai matahari diberi pilihan: mau tunduk patuh terhadap kehendak Allah (sunatullah yang berupa hukum-hukum alam)? Atau mau nurut karepe-dewe? Tentunya kehidupan di bumi ini akan runyam jika matahari diberi pilihan.
Sebagai konsekwensi tak adanya pilihan fujur atau taqwa, surga dan neraka tidak perlu dijanjikan dan diancamkan untuknya. Alangkah tidak adilnya jika matahari yang tidak diberi pilihan akan mendapat siksa di neraka?
Sebaliknya, jika nasib dan segenap liku-liku hidup manusia telah ditetapkan, apalah gunanya manusia berdoa? jika ketetapan neraka bagi manusia telah ditetapkan, apalah gunanya bertaubat, memohon ampunan dan surga?.
Namun seperti kita ketahui, hanya manusia dan jin yang diberi kebebasan: mau fujur atau taqwa? Mau manut atau sak-enake udele dewe? Atas kebebasan tersebut, mereka kelak dimintai pertanggung-jawaban atas pilihannya.

Kisah Yang Sarat Hikmah
Ada dua kisah yang bisa kita ambil hikmahnya, kisah pertama bercerita tentang nabi Ibrahim yang tidak terbakar api, dan kisah kedua bercerita tentang orang yang meninggal karena musibah banjir.

Nabi Ibrahim Yang Tidak Terbakar Api
Nabi Ibrahim terkenal sebagai Nabi yang sangat lurus akidah tauhidnya. Beliau tidak mau meminta pertolongan kepada siapapun selain langsung kepada Allah. Dalam sebuah kesempatan, beliau ditangkap oleh raja namrud dan hendak dihukum bakar. Singkat cerita dalam kondisi tubuh yang telah terikat, diatas tumpukan kayu yang siap bakar, datanglah malaikat yang menawarkan pertolongan namun ditolaklah penawaran itu oleh beliau. Beliau hanya berharap pertolongan dari Allah saja, maka atas keteguhan iman, Allah menjadikan api menjadi dingin, beliau tidak terbakar.

Kisah Orang Yang Kebanjiran
Ada sebuah cerita fiktif tentang seseorang yang terkena banjir bandang (maaf saya lupa juga sumbernya). Inti ceritanya kira-kira demikian:
Berhubung rumahnya telah kemasukan air cukup tinggi, maka pak Fulan menyelamatkan diri ke atap rumah sambil terus berdoa supaya Tuhan menyelamatkannya.
Ketika air telah mencapai ketinggian atap, terdengarlah teriakan tetangga sedesanya yang menaiki rakit bambu:
”Haiiii pak Ful, ayo cepat naik ke rakitku, banjir semakin tinggiiiiii!!”
”Tidak terimakasih. Aku menunggu pertolongan dari Tuhaaaaan!!!!” jawab pak Ful. Maka berlalulah tetangganya.

Air semakin tinggi, atap rumah sudah hampir seluruhnya tenggelam, lalu datanglah tim SAR dengan perahu karetnya:
“Hai Pakkkk.. ayo cepat loncat ke siniiiii. Banjir ini semakin tinggiiiii!!!”
”Tidaaak, terimakasih. Saya menunggu pertolongan Tuhaaaaan!!!.” Jawab pak Ful mantab.
Banjirpun semakin meninggi, dan pak Ful tinggal terlihat kepalanya saja. Lalu datanglah helikopter tim SAR yang melayang mendekatinya.
”Haiii bapakkkk yang dibawahhh!!!! Cepattt raih tali dan ikatkan ke pinggang. Nanti kita tariiik”
”Tidak terimakasiiiiih!!!, saya menunggu pertolongan Tuhaaaaan!!!! Teriak pak Ful dengan sedikit ragu.

Berlalulah helikopter SAR dan pak Ful dikabarkan tidak selamat. Singkat cerita, sesampainya di akhirat, pak Ful protes dan marah-marah sama Tuhan, mengapa Tuhan tidak menyelamatkannya.
”Tuhan.. mengapa Engkau tidak menyelamatkanku???? Tanya pak Ful to the point.
Lalu Tuhan menjawab, to the point juga: “Emangnya yang mengirim tetanggamu pake rakit, yang mengirim perahu karet dan helicopter datang untuk menyelamatkanmu itu sapa???!!!”

Meski cerita kebanjiran diatas hanya cerita fiktif belaka, namun semoga dapat kita tarik hikmahnya. Allahua’lam bishawab.

Salam
Abet the sotoy

Komentar

Postingan Populer